Beberapa waktu lalu, netizen dihebohin dengan terpilihnya Babe Cabita dan Marshel Widianto menjadi duta kosmetik MS Glow for Men. Sayangnya keputusan ini dapat celaan dan cibiran dari netizen yang menilai Babe dan Marshel gak pantas dijadikan duta kosmetik karena gak memenuhi ‘standar kecantikan’ yang seharusnya.
Tentunya ini bikin kita bertanya-tanya. Sebenarnya, apa sih yang jadi pertimbangan seseorang untuk dinilai menarik? Kayak apa beauty standar di Indonesia?
Komen-komen pahit ke Babe Cabita dan Marshel Widianto sampai sekarang masih bisa kita lihat di berbagai sosial media. Kalimat seperti “muka dekil”, “kucel” dan lain sebagainya semua merujuk pada penampilan fisik keduanya yang dinilai gak memenuhi standar “good looking”-nya netizen.
Dengan segala protes akan pilihan beraninya, MS Glow for Men muncul dengan narasi “Semua Juga Bisa” sebagai bentuk perlawanan terhadap pakem beauty standar yang selama ini ada.
Putih = cantik
Apa yang terjadi pada Babe Cabita dan Marshel Widianto sebenarnya bukan hal baru. Ada banyak kasus mereka yang dicibir karena kulitnya berwarna gelap. Misalnya Aurelie Moeremans, pemeran Dinda di film ‘Story of Kale: When Someone’s in Love’, yang ngerasa geram karena berita tentang dirinya yang berjudul ‘Dulu Hitam Dekil, Sekarang Banyak Lelaki Antri Untuk Dapatkan Cewek Ini, Siapa Hayo?’. Aurelie gak habis pikir kenapa di zaman sekarang kulit gelap masih punya stereotype negatif.
Dari street interview yang dilakukan Asian Boss ke beberapa orang Indonesia di tahun 2019. Dari sekian banyak yang disebutkan seperti: badan kurus seperti model, hidung mancung, rambut lurus panjang, rata-rata audience menitikberatkan warna kulit putih atau terang sebagai standar seseorang terlihat menarik di mata mereka. Bahkan saat ini, di Tiktok dan Youtube sedang viral produk pemutih yang bisa memutihkan kulit secara instant dengan membandingkan before-after. Seolah semakin memperkuat anggapan kulit putih itu paling tinggi kastanya dibanding kulit gelap.
Padahal bila dipahami lebih dalam, penilaian standar kecantikan kayak gini tuh agak terdengar ‘konyol’. Terlebih bila konteksnya di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis, suku, dan ras yang punya ragam keunikannya sendiri.
Content creator Gita Savitri Devi pun pernah membahas tentang beauty standar bersama beauty vlogger asal Papua, LIfni Sanders dan Fara Olivia dari SaPerempuan Papua di channel Youtubenya. Di sini Gita bilang, kalau hal tersebut (beauty standar) bukanlah hal yang mengherankan. Karena ide-ide tentang kecantikan udah ditanamkan di pikiran kita sejak kecil. Contohnya, tokoh dongeng protagonis yang selalu digambarkan cantik, ataupun mainan Barbie yang punya proporsi tubuh yang gak manusiawi. Akhirnya orang-orang bahkan anak kecil zaman sekarang udah punya masalah dengan persepsi tubuh.
Beauty Standar (sebenarnya) bisa sangat bervariasi
Di video yang sama, Lifni menambahkan pendapat berdasarkan pengalamannya. Karena kulit putih di Indonesia masih diagungkan, bukan shade (skin tone) gelap, jadi itulah yang paling menjual. Dan Lifni menegaskan kalau mereka (produk-produk kecantikan) sebenarnyalah yang mengontrol pasar, bukan sebaliknya. Jadi kalau produk kecantikan memakai model yang bentukannya sama, sesuai stereotipe standar kecantikan, ya konsumen yang melihat pasti bakal pengin yang bentukannya seperti itu.
Padahal kalau produk kecantikan, media, dan iklan menggunakan model yang berbeda dari kebanyakan, mereka bisa kok nunjukkin kalau kecantikan pun sebenarnya bisa beragam.
Ada berbagai studi tentang standar kecantikan. Contohnya studi tahun 2014 yang membandingkan “People Magazine’s Most Beautiful People” dari edisi 1990 sampai 2017 yang nunjukkin kalau standar kecantikan itu sebenarnya berubah-ubah dan punya definisi yang berbeda-beda.
Bisa ditarik kesimpulan, kalau gak ada gunanya berpatok pada satu standar kecantikan karena cantik itu bukan hanya dilihat dari satu aspek aja. Selain itu, ada faktor psikologis yang juga bermain di dalamnya, yang bisa mempengaruhi seseorang terlihat cantik di mata kita.
Foto: Shutterstock