Kamu mungkin mulai familiar dengan kata ‘cancel culture’ ketika kasus Kim Seonho meledak beberapa waktu lalu. Sebenarnya, kata cancel culture sudah ada sejak lama dan sebagian orang mengganggapnya sebagai culture yang toxic.
Di-“cancel” seringnya terjadi dengan cara yang sama. Seseorang -terlepas dia terkenal atau gak- mengatakan atau melakukan hal yang kontroversial sehingga mendapatkan backlash (reaksi keras) dari publik. Sehingga muncullah cancel culture.
Sampai artikel ini selesai ditulis, cancel culture masih jadi perdebatan karena dianggap “membunuh” karakter seseorang. Sementara ada juga yang bilang, cancel culture menyemangati publik untuk menentang mereka yang punya kekuasaan.
KAPAN CANCEL CULTURE INI MULAI ADA?
Dilansir dari Insider, cancel culture muncul akhir 2014. Ketika di salah satu episode reality show VH1, “Love and Hip-Hop: New York”, Cisco Rosado mengatakan “you’re cancelled” ke pacarnya. Sontak, kalimat ini pun jadi trending di Twitter yang saat itu kalimatnya dipakai sebagai candaan untuk nunjukkin disapproval akan perilaku seseorang. Tapi sekarang artinya berubah dan menjadi kultur sosial, terutama di media digital.
JADI SEBENARNYA CANCEL CULTURE ITU APA SIH?
Dari Merriam-Webster, cancel culture adalah sebuah praktik atau kecendrungan untuk melakukan pembatalan masal sebagai cara untuk mengungkapkan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial.
Sedangkan Profesor Anne H. Charity Hudley, seorang pakar budaya dan linguistik Afrika-Amerika di Universitas California, Santa Barbara, ngebagi cancel culture menjadi dua definisi berbeda. Yang pertama, boikot. Yaitu menarik semua support dalam bentuk finansial, politik, sosial, dan ekonomi. Ini sering dialami public figure (artis, pebisnis, politikus, dsb). “Menarik dukungan kita terhadap orang tersebut secara lantang, secara gak langsung juga mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama.” Jelas Profesor Anne.
Yang kedua, membungkam sesuatu hal atau seseorang. Dan ini bisa dengan cara mendistraksi perhatian atau secara aktif berusaha menghentikan orang lain untuk berbicara.
KENAPA PUBLIK FIGUR SEPERTI KIM SEONHO RENTAN KENA CANCEL?
For context, Kim Seonho terkena skandal ketika mantan pacarnya spills mengenai hubungan mereka di salah satu forum. Langsung saja fans dan publik menarik dukungannya. Gak cuma itu, beberapa brand bahkan drama atau tv show menurunkan konten mereka supaya gak ikut terseret. Untuk tahu lebih jelas kasusnya, kamu bisa menonton video di channel Korea Reomit.
Dilansir dari KOMPAS, menurut Dr. Firman Kurniawan S., Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Universitas Indonesia, karena publik figur dianggap sebagai orang yang cukup punya pengaruh.
“... ketika seseorang jadi figur, maka muncul harapan/ekspektasi dari orang lain dan bikin orang tersebut punya nilai lebih. Itu beratnya jadi publik figur karena mereka dianggap sempurna. Namun ketika sisi lain yang nunjukkin perilaku gak baik muncul, di situ akan terjadi cancel culture.”
Dan itulah yang terjadi pada Kim Seonho. Dia dielukan sebagai sosok cowok ideal berkat perannya di Hometown Cha Cha Cha sebagai Hong Du-Shik yang baik dan bisa diandalkan. Tapi image itu seketika hancur pas dia dituduh melakukan pemaksaan dan gaslighting.
PERLAKUAN CANCEL CULTURE DI KOREA SELATAN DAN DI INDONESIA
Tiap negara perlakuannya bisa berbeda tergantung dari gimana publik melihatnya. Di Korea Selatan yang sangat menjunjung tinggi nilai dan etika, seseorang yang terkena cancel culture bisa berarti tamat kariernya. Kritikus budaya pop, Kim Hern-Sik dan Profesor sosiologi di Universitas Kyung-hee Song Jae-ryong bilang, standar moral masih lebih tinggi daripada privasi individu artis. Karena situasi tersebut, membuat para artis jadi “korban” harapan tinggi sebagian besar masyarakat Korea Selatan (K-Netz). Dan K-netz bisa sangat gak toleran terhadap kesalahan moral atau etika.
Positifnya sih, publik Korea jadi sangat menjunjung moral dan ngelatih kita untuk selalu berhati-hati gak melakukan kesalahan. Tapi negatifnya, seakan gak ada celah untuk kesempatan kedua.
Gimana dengan di Indonesia? Kalau kata Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, sejauh ini cancel culture di Indonesia hanya merupakan fenomena urban, karena hanya melibatkan sekelompok kecil masyarakat dengan akses dan literasi digital yang baik.
Terlebih impact-nya gak terlalu terlihat karena orang yang di-cancel culture pun masih bisa tampil, bersuara, dan berkarya di publik. Bahkan dielu-elukan dan dibela.
Dibanding publik figur, dampak negatif cancel culture justru lebih dirasakan orang biasa. Seperti yang dibilang Pengamat sosial UI, Devie Rahmawati. Karena, ketika selebriti di-cancel, mereka masih punya karya dan peluang untuk tetap dinikmati sekaligus dinilai positif oleh publik. Walaupun publik figur tersebut terjerat kasus hukum yang berat (misalnya), masyarakat Indonesia masih akan tetap ngebuka pintu maaf.
Sedangkan buat orang biasa, cancel culture bisa ada potensi menutup kesempatan dia untuk berkarya atau menghasilkan sesuatu.
Cancel culture emang efektif untuk melawan segala bentuk kejahatan moral yang dilakukan seseorang, tapi di saat bersamaan cancel culture juga bisa jadi perilaku toxic. Karena kebanyakan kita malah kita jadi orang yang judgemental dan langsung menyerang pelaku, sehingga melupakan inti masalahnya.
Kita boleh aja membela dan percaya korban. Tapi yuk kembali lagi ke definisi “Percaya Korban” oleh Tarana Burker, aktivis yang memulai Me Too movement. Percaya pada korban artinya kita menanggapi kejadian yang dialami korban secara serius dan gak membungkam korban. Dan ini bukan berarti langsung maju dan mengutuk pelaku secara otomatis.
Foto: Shutterstock, Hometown Cha-Cha-Cha Original Photo by Netflix, Syaiful Jamil Instagram