MY LOOKS
MY BODY
MY LIFE
WHAT'S NOW
I AM FAST 3000
SOFTEX FOR UNICEF
FIRST PERIOD
PRODUCT
My Life
MY LIFE

Review Film Dua Garis Biru & Pentingnya Pendidikan Seks

*WARNING: artikel ini mengandung spoiler!

 

Walaupun sudah hampir sebulan lebih film Dua Garis Biru dirilis tapi hypenya masih banyak dibicarakan oleh tiap orang dari berbagai usia sampe sekarang. Film ini dianggap berhasil (untuk sebagian orang) menggambarkan seperti apa realitanya kehamilan di luar nikah. It’s not all about si cowok bilang bersedia tanggung jawab, “we can through this, I love you forever”, lalu happy ending, done. No. Dua Garis Biru lebih dari sekedar roman picisan dan ini seperti tamparan keras terhadap orang dewasa akan pentingnya pendidikan seks kepada remaja, khususnya orang tua terhadap anak-anaknya dan terutama buat mereka yang ribut ngasih judgment sebelum film ini rilis.

 

 

Perlu diketahui film garapan perdana Gina S. Noer ini sempat diprotes dan masuk dalam change.org karena dianggap mengajak, meromantisasi dan membenarkan seks di luar nikah. Judul petisi “Jangan loloskan film yang menjerumuskan! Cegah dua garis biru di luar nikah!” April 2019 lalu sontak membuat opini netizen terpecah dua (atau tiga?). Ada yang setuju, tidak setuju, dan ada juga yang mempertanyakan gimana bisa menilai sebelum film tersebut rilis? Dan penulis setuju dengan pendapat terakhir. Faktanya film Dua Garis Biru justru menjawab hal-hal yang menjadi pertanyaan di masyarakat kita. Apalagi unsur yang ada di dalam film ini erat hubungannya dengan kehidupan kita, dan hal tersebut menunjukkan kalo Dua Garis Biru justru wajib ditonton oleh tiap orang.

 

BIMA, DARA, DAN MARRIED BY ACCIDENT (MBA)

 

Siapa sih Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Zara JKT48)? Berbeda dengan anggapan orang selama ini tentang pelaku seks di luar nikah, Bima dan Dara adalah remaja biasa layaknya kita semua. Bima digambarkan cowok abg hitam-manis yang demen games dan kayaknya cukup rajin beribadah. Sedangkan Dara tipikal cewek pintar di sekolah, friendly, fans Kpop dan bisa dibilang cukup ambisius sama pendidikannya. Sekilas Bima terlihat kuat tapi seiring berjalannya film keliatan kalo selalu ragu-ragu dan rapuh, berbanding terbalik dengan Dara walaupun emosional tapi terlihat lebih tenang dan kuat mentalnya daripada Bima.

Konflik di film ini nggak cuma sebatas ngulik dilema Bima dan Dara, tapi juga ngasih tahu gimana sikap keluarga dan orang tua menghadapi berita anaknya MBA (Married By Accident). Karena udah jelas kalo MBA itu bukan cuma ngelibatin dua orang yang melakukan, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Ini ditunjukkan di adegan ketika Dara diketahui hamil di situ kita bisa ngelihat respon orang tua, kakak, guru, teman, bahkan sampe ke tetangga.

Nggak cukup sampe situ, Gina S. Noer mengangkat tema konflik lainnya. Dari perbedaan kelas ekonomi antara orang tua Bima (Arswendy Bening Swara dan Cut Mini) dengan orang tua Dara (Lulu Tobing dan Dwi Sasono), komunikasi antara sesama orang tua, komunikasi antara orang tua dan anak, masa depan Bima dan Dara di mana terjadi perbedaan pendapat antara mereka bedua, hingga konflik batin Dara yang tiba-tiba menjadi seorang ibu tanpa persiapan fisik dan mental. Konflik yang cukup intens dikemas tanpa basa-basi dan nggak lebay layaknya sinetron.

 

SEMUA ITU NGGAK CUKUP CUMA DENGAN BILANG “SAYA AKAN TANGGUNG JAWAB,” KARENA “KAMU PIKIR JADI ORANG TUA ITU GAMPANG?”

 

Semua yang menonton film ini pasti setuju dengan dialog powerful yang dilontarkan ibu Dara di ruang UKS. Ketika Bima dengan lantang berteriak “Saya akan tanggung jawab!” lalu di-counter attack oleh keheningan dan suara lirih ibu Dara, “kamu kira jadi orang tua itu mudah? Saya saja gagal....”

Nggak menyerah, Bima pun masih coba tampil lebih heroik dengan mengatakan “Saya janji nggak akan ninggalin Dara!”

Tersentuh? Nggak. Justru di sini semakin terlihat sikap “bocah naif” dari Bima. Karena baik orang tua Dara dan Bima, yang udah punya jam terbang tinggi sebagai orang tua, sadar sepenuhnya kalo Bima dan Dara sebenarnya nggak benar-benar paham sama konsekuensi yang udah mereka lakukan. Dan tiap ucapan yang mereka berdua lontarkan hanya jadi sebatas omdo alias ngomong doang karena terbawa emosi. Mau seperti apapun, pada akhirnya orang tua tetap akan kerepotan dan merekalah yang justru menjadi tameng akibat kelakuan anak-anaknya.

“Tapi... Bima akhirnya bertanggung jawab dengan menikahi dan mencari nafkah untuk Dara kan?”

Iya sih, tapi nggak semudah itu. MBA di usia sekolah nggak cuma masalah drop out dan ekonomi. Ada banyak persoalan rumit yang belum bisa dilihat oleh para remaja kayak kita dan hanya orang tualah yang bisa mengatakannya karena mereka sudah merasakannya langsung. Misalnya masalah komunikasi dan menyatukan dua pikiran yang berbeda yang ini akan ditunjukkan di adegan berikutnya. 

Tapi, tiap orang tua pun berbeda. Itu kenapa terjadi perselisihan antara ibu Dara yang ingin cucunya diadopsi dan ibu Bima yang ingin mempertahankan cucunya walaupun beliau belum melihatnya. Dan kedua topik ini cukup rumit sehingga sangat dimengerti kenapa nggak dibahas lebih dalam dan membiarkan Dua Garis Biru tetap pada jalurnya.

Dua Garis Biru membawa kita melihat MBA dengan memberikan situasi real dari sudut pandang yang lebih luas di mana tiap orang bertahan dengan logikanya masing-masing.  Seperti gunung es yang hanya terlihat puncaknya tapi ternyata di bawahnya ada sekelumit persoalan yang nggak kita sadari.  

 

PENDIDIKAN SEKS BUKAN CUMA SECARA FISIK TAPI JUGA EMOSIONAL, MENGEDUKASI BAHWA HUBUNGAN ANTARA DUA ORANG ITU ADA HAL “INDAH” DAN ADA HAL “TIDAK MENYENANGKAN” YANG MUSTI KITA TANGGUNG.

 

Film berdurasi 113 menit ini semakin menekankan pentingnya pendidikan seks (baca lebih dalam di artikel: Kenapa Sex Education Itu Penting) di usia dini. Selama ini pendidikan seks selalu dianggap mengajari dengan kata-kata vulgar yang eksplisit, padahal sebenarnya lebih dalam daripada itu, dan pendekatan inilah yang dilakukan Produser Chan Parwez dan sutradara Gina S. Noer melalui storyline dan dialog karakternya. Dua Garis Biru mengajarkan hal-hal yang nggak diajarin sekolah tapi penting untuk kita ketahui (baca lebih dalam di artikel: Sex Education Part.2).

 

BEBERAPA POINT YANG SEBENARNYA BISA LEBIH DIPERDALAM DI DUA GARIS BIRU

Di samping film ini berhasil membawa topik sensitif, tapi ada beberapa point yang sebenarnya bisa diangkat lebih dalam. Berikut 5 point yang penulis kumpulkan dengan menanyakan langsung kepada audience yang menonton (variasi umur berbeda).

 

1. Adegan Dara dan Bima yang berantem karena Dara menganggap Bima nggak serius dengan pendidikannya seharusnya bisa lebih diperdalam. Kehamilan Dara adalah kehamilan yang nggak diinginkan, di luar perkiraan mereka dan semua orang sehingga nggak aneh kalo terjadi miss-komunikasi. Menurut Andrea (20), perasaan Bima dan Dara selaku remaja yang jadi orang tua dadakan seperti kurang ada conclusion-nya sehingga terlihat ngambang. Kayak tau-tau udah kelar aja gitu. Padahal seharusnya lewat adegan ini kita bisa tahu lebih dalam tentang perasaan Bima dan Dara.

 

2. Konflik internal Dara sendiri sebagai ibu dinilai kurang tersampaikan. Menurut Rezky (26), “dari luar sih keliatan dia struggle tapi terus terang gw nggak nangkep perasaan Dara ke bayinya.. Gimana dia ibu muda yang tau-tau punya anak. Walaupun ada adegan Dara nulis surat buat anaknya rasa-naluri ibu dia kurang kepancar, dan gw masih nganggap dia ‘semudah’ itu nyerahin bayinya ke keluarga cowoknya demi impiannya. Apa iya sih semudah itu nyerahin anak lo sendiri ke orang lain, terlepas lo masih muda ya. Intinya sih konflik internal dia sebagai remaja yang tiba-tiba menjadi ibu nggak gw rasakan.”

 

 

3. Pertemanan yang erat kaitannya dengan anak seusia Dara dan Bima kurang dihilite. Teman-teman sekolah Bima dan Dara hanya digambarkan sebatas mengernyitkan dahi dan kemudian seolah menerima, Dara khususnya. Hal ini bisa terlihat di adegan ketika para sahabat Dara datang ke rumah. Menurut Mawar (*bukan nama sebenarnya), keluarga penting tapi saat itu dia justru bergantung kepada teman-temannya untuk mendukung dia secara mental. Peran teman adalah salah satu point krusial terutama buat anak seusia remaja, tapi justru nggak disertakan di film ini. Apakah mereka mendukung Dara? Apakah mereka mendukung tapi mempertanyakan keputusan Dara? Apakah mereka menanyakan keadaan Dara? Inilah yang bikin Mawar merasa kurang related sepenuhnya walaupun mengalami hal yang sama dengan Dara.

 

4. Ini opini penulis pribadi. Simbol-simbol yang muncul adalah salah satu point cerdas yang dimasukkan di film ini, tapi di satu sisi juga jadi kekurangan karena nggak semua mengerti dengan arti simbol yang dimaksud. Contohnya ondel-ondel perempuan berpakaian biru, yang muncul di mimpi Dara. Jujur aja, penulis agak kebingungan dengan kenapa tiba-tiba ada ondel-ondel biru? 

 

Dari sisi kesehatan terasa ‘ringan’ karena dibawakan secara komedi. Padahal faktor kesehatan ketika hamil, apalagi untuk fisik Dara yang kecil dan secara usia belum cukup resikonya sangat besar. Nggak ada Dara shock karena nggak bisa hamil lagi, nggak ada masa recovery digambarkan, nggak ada shocking moment yang membuat remaja berpikir MBA adalah hal serius dari segi kesehatan. Bahkan menurut Nara (15) dan Eva (15), “...biarpun akhirnya rahim Dara harus diangkat dan dia nggak bisa hamil lagi tapi kayaknya fine-fine aja tuh. Gwnya ngerasa sedih sih tapi karena kayaknya udah berjalan gitu aja jadi nggak terlalu memorable bagian itu...”

 

 

Walaupun menurut penulis masih ada plot-plot yang bisa dikembangkan tapi perlu diakui film Dua Garis Biru berhasil membawa topik yang selama ini dianggap tabu ke masyarakat atau nggak penting. Bima dan Dara bukan anak yang suka macam-macam, mereka berdua dibesarkan di keluarga yang berpendidikan dan religius, yang satunya selalu berprestasi malah. Melalui kedua tokoh ini kita diperlihatkan MBA bisa terjadi pada siapa aja, terlepas apa moral, akhlak, dan latar belakang si anak.

 

Setidaknya dengan begini baik orang tua dan anak disadarkan akan pentingnya pendidikan seks sejak dini. Terutama kita sebagai remaja pun bisa lebih paham dan nggak melakukan hal yang suatu saat akan kita sesali nantinya.

 

MBA dan pernikahan dini bukan akhir dunia, tapi lebih baik kalo kita menjalani kehamilan dan pernikahan ketika kita sudah siap secara fisik dan mental. Semoga film Dua Garis Biru membuka jalan untuk film-film edukasi remaja serupa lainnya.

 

 


Foto: Dok. Starvision, Kompasiana, Detik, imbd, dan berbagai sumber    

Prev
Next

Bagikan artikel ke :