Suka menonton drama Korea, Jepang, atau mungkin sinetron Indonesia? Karakter perempuan di dalam drama romantis kebanyakan cenderung digambarkan sebagai sosok yang lemah dan selalu ditolong oleh tokoh laki-laki yang bak pangeran dalam dongeng. Terdengar sweet banget ya, tapi sadar gak sih kalau karakter tokoh perempuan seperti ini terjebak dalam sindrom Cinderella Complex?
APA ITU CINDERELLA COMPLEX?
Istilah sindrom Cinderella Complex pertama kali dicetuskan oleh Collette Dowling, terapis asal New York sekaligus penulis buku “The Cinderella Complex: Women's Hidden Fear of Independence”.
Berasal dari karakter dongeng Cinderella. Perempuan digambarkan cantik, pekerja keras, independen, tapi pada satu titik perempuan tetap bergantung pada laki-laki dan gak mampu mengubah nasibnya sendiri tanpa bantuan “sang pangeran berkuda putih”. Secara umum, Colette menjelaskan kalau perempuan gak dididik untuk menghadapi ketakutannya, dan diajarkan untuk mengatasi masalahnya sendiri.
Kebanyakan faktornya adalah stigma kuno kalau perempuan itu harus lemah lembut, penurut, dan gak boleh lebih pintar daripada partnernya.
CIRI-CIRINYA SEPERTI APA?
Meskipun gak ada ciri khusus, tapi umumnya perempuan yang punya sindrom Cinderella Complex itu:
· Cenderung ngalah dan nerima aja segala keputusan serta pilihan partnernya.
· Mendambakan partner yang bisa jadi penyelamat (kayak selalu berharap munculnya pangeran berkuda putih gitu deh) supaya bisa melindungi, mengayomi, plus menyediakan segala apa yang dia butuhin. Ini mirip seperti ucapan “ah gue mau cari suami kaya aja deh biar bisa hidup enak-enakan.”
· Cemas kalau mikirin hidup sendirian atau hidup mandiri.
· Sulit buat nentuin dan ambil keputusan besar dalam hidupnya.
· Sering ngungkapin perasaan kalau mereka ingin selalu diperhatikan.
· Mengasihani diri sendiri ketika apa yang yang mereka inginkan gak sejalan dengan rencananya.
SINDROM CINDERELLA COMPLEX DI DRAMA
Geum Jan Di (Boys Over Flower), Ji Eun Tak (Goblin), atau Misaki Sakurai (A Girl and Three Sweetheart) adalah beberapa nama tokoh karakter perempuan yang pastinya udah familiar buat pecinta drama Korea atau Jepang. Walaupun digambarkan sebagai seorang perempuan yang mandiri dan pantang menyerah, tapi pada satu titik mereka akhirnya butuh bantuan tokoh laki-laki untuk bisa keluar dari penderitaannya.
Salah? Nggak sih. Hanya sayang aja karakter mereka yang inspiratif di awal pada akhirnya gak selamat dari stereotipe cinderella.
MEROMANTISASI HUBUNGAN TOKSIK DAN FORMULA CINTA DONGENG
Program acara TV Korea, “Problem Child in The House” pernah membahas betapa seramnya romantisasi hubungan toksik di drama Korea. Yup, hubungan gak sehat dalam drama Korea (ataupun Jepang, bahkan sinetron Indonesia sendiri) masih bertahan dengan formula Cinderella Complex. Adegan yang dibahas di episode ini mulai dari pelukan atau ciuman paksa, menarik tangan si partner biar gak pergi, dan yang paling populer adalah kabe don. Ketika tokoh laki-laki memojokkan tokoh perempuan ke tembok seakan untuk menjebak atau mengintimidasi mereka.
Asya Pambouc dari La Rochelle Universite, Paris, pernah menulis di tesisnya yang berjudul “The Evolution of Female Roles in South Korea Dramas” yaitu bagimana tokoh perempuan hampir selalu digambarkan punya ketakutan untuk jadi perempuan independen. Terjebak pada stigma kuno “laki-laki gak boleh lemah, muda, miskin, atau gak sesukses perempuan” serta formula dongeng Beauty and The Beast, ketika karakter perempuan yang bisa mengubah laki-laki jadi lebih baik.
Contoh di drakor populer “What’s Wrong with Secretary Kim?” Gak peduli segimana arogan dan abusive-nya bos Lee Young Joon, tapi sektretaris Kim Mi So yakin dia bisa mengubah perilaku bosnya tersebut. Terlebih ketika keduanya mulai jatuh cinta.
Gimana dengan sinetron Indonesia? Well, sepertinya dengan penggambaran tokoh perempuan selalu lemah, ditindas dan menderita, sepertinya udah jelas nunjukkin betapa gak berdayanya sosok perempuan di dunia pertelevisian kita.
Gak bisa dipungkiri drama dengan formula seperti ini lebih populer di penonton. Mirisnya, mereka pun terlena dan meromantisasi hubungan toksik di kehidupan nyata. Terutama penonton usia remaja yang percaya ketika mengatasnamakan cinta di hubungan toksik, semua jadi bisa berubah lebih baik. Padahal sih pada kenyataannya nggak (kebanyakan).
Sesuai namanya, drama, ada alur cerita atau plot yang didramatisir supaya lebih menarik, walaupun harus dibikin selebay dan se-absurd mungkin. Tapi bukan berarti kita bisa membawa hal tersebut ke dunia nyata. Karena kita sebagai penonton pun harus pintar memilah mana yang hanya bisa terjadi di drama dan mana yang kenyataan.
Foto: Unsplash/Pablo Heimplatz, dan berbagai sumber